“Kenapa sih masih aja dianggap anak
kecil?”
“Susah banget mau ijin ke luar
rumah, padahal udah gede!”
“Daripada minta ijin pergi tapi
susah, mending kabur diem-diem deh...”
“Ups ketahuan. Yep, now I’m
grounded. “
Setiap remaja (putri, pada umunya) pasti pernah
melontarkan atau setidaknya memikirkan kalimat-kalimat di atas. Bermasalah
dengan kepercayaan orang tua? Tenang, kalian tidak sendirian. Hal ini memang
tidak jarang “diderita” oleh sebagian besar anak usia belasan tahun, masa di
mana seseorang sedang getol-getolnya mencari kebebasan dan pengalaman yang
belum pernah ia dapatkan. Sewaktu kita duduk di bangku SMP atau SMA, seringkali
kita masih dianggap anak-anak, bahkan oleh orang tua kita sendiri. Kadangkala
untuk ijin pulang malam sampai batas waktu tertentu saja belum tentu dipenuhi,
apalagi ijin untuk pergi menginap selama berhari-hari. Memang aturan seperti
itu tidak berlaku bagi semua orang. Saya sempat takjub mendengar salah satu
teman saya yang pernah bepergian sendiri ke luar negri tanpa masalah ijin orang
tua sedikitpun. Bagaiamana tidak jealous?
Ya, berbahagialah mereka yang sangat beruntung tidak perlu berhadapan dengan
masalah semacam ini. Namun ada pula beberapa dari antara mereka yang seringkali
mengalami kesulitan dengan yang namanya memohon kepercayaan orang tua. Tidak
sedikit pula yang akhirnya berlanjut kepada pemberontakkan yang berlanjut pada
munculnya ketidak-jujuran. Dalam hal ini saya menunjuk diri sendiri sebagai
salah satu pelakunya.
Jujur saja, dulu saya sempat memasuki fase “iri”
terhadap teman-teman yang tidak terlalu terikat dengan ijin dan peraturan.
Bukannya tidak ada aturan sama sekali, tapi lebih tepatnya peraturan yang
longgar. Sebut saja teman-teman yang sudah boleh mengendarai mobil sendiri,
atau pergi berlibur bersama teman lainnya selama beberapa hari tanpa harus memenuhi
syarat ijin yang berbelit-belit. Memang setiap orang tua memiliki kekhawatiran
dan cara masing-masing untuk menentukan yang terbaik buat anak-anaknya, tapi
kadangkala kita sebagai anak menyalah-artikan hal tersebut sebagai bentuk
pengekangan. Jika diingat-ingat lagi, dulu saya juga berpikir seperti itu.
Bahkan sejak SMP saya suka “mencurangi” ijin yang saya dapat saking langkanya
ijin itu saya peroleh. Eits, bukan untuk hal-hal buruk atau kriminalitas loh!
Kecurangan yang saya lakukan misalnya menggunakan ijin satu kali pergi untuk
mengunjungi dua tempat sekaligus. Masih terdengar mencurigakan? Hmm, contohnya
ijin untuk pergi les, tapi sebelum pulang mampir dulu ke tempat lain.
Istilahnya sekali ijin, dua tiga maksud terpenuhi. Sebenarnya hal itu
menghasilkan keuntungan dan kerugian. Keuntungannya pasti hasrat jiwa raga
terpenuhi tanpa harus melewati proses yang panjang misalnya interogasi
pra-bepergian (sama siapa, ke mana, pulang jam berapa, naik apa) yang hasilnya
belum tentu positif juga. Namun kerugiannya yaitu minimnya kepercayaan yang
kita dapat, bahkan bisa jadi untuk waktu yang lama. Sebenarnya kalau dilihat
dari segi kerugian, kelihatannya lebih fatal. Bisa-bisa sampai umur 30 tahun
pun kita akan tetap mengulangi fase yang sama. Masa sampai umur 30an kita harus
terus-menerus beralasan dan membual untuk bisa dipercaya?
Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap
papa dan mama kita? Give them time. Beri
mereka waktu dan kesempatan untuk melihat bahwa kita sudah bisa diberi
kepercayaan lebih. “Surat-surat ijin” untuk kepercayaan-kepercayaan yang lebih
besar dengan sendirinya akan berdatangan tanpa perlu kita merengek-rengek atau
main belakang dengan mama papa kita sendiri. Saya tahu karena saya
mengalaminya. Sampai kelas 3 SMA, saya tidak pernah boleh naik busway kalau mau
bepergian (entah apa alasannya, mungkin keamanan). Karena termasuk anak yang
suka penasaran, bukan berarti larangan itu dituruti begitu saja. Alhasil,
pernah beberapa kali saya naik busway diam-diam (umbar kenakalan sendiri). Saya
pikir, sampai kapanpun juga saya tidak akan pernah bisa merasakan yang namanya
naik Transjakarta jika tidak diusahakan sendiri secara diam-diam. Ternyata hal
itu berubah dengan sekejap waktu saya sudah di bangku kuliah. Bahkan ketika
disuruh (bukan diijinkan) pulang sendiri naik busway dari kampus, saya sempat
kaget “Ada angin apa ini?”. Ya, itu hanya sepenggal cerita pribadi, atau lebih
tepatnya rahasia kenakalan pribadi. Bukan kenakalannya yang ingin saya tekankan
di sini (hehe, jadi malu.) Intinya, segala sesuatu itu perlu waktu, tidak
datang begitu saja secara instan. Keterbukaan itu penting dan jauh lebih baik
daripada main belakang. Daripada pura-pura ke kampus padahal ke mall, lebih baik
telepon dan bilang “Ma, aku mau ke mall naik busway. Mau nitip body butter
Cocoa diskon 50% ga?” Kalaupun tidak langsung dikasih ijin begitu
saja, bernego ria-lah sampai tercipta sebuah kesepakatan yang sekiranya bisa
menguntungkan kedua belah pihak. Yang paling penting, jangan selalu berpikiran
yang negatif terlebih dahulu. Pasti ada maksud dan tujuan dari
larangan-larangan orang tua. Jangan sampai kita menganggap diri tidak disayang mereka
karena menyalah-artikan maksud baiknya.
Every Parents
love their child no matter what. It’s just the way they’re showing it which different
from the others. Come to them, speak, and negotiate. Reach the agreement with
peace, trust, and no feud.
@sinjoelf
No comments:
Post a Comment