Thursday, August 02, 2012

I'm not a little kid anymore, am I?


“Kenapa sih masih aja dianggap anak kecil?”
“Susah banget mau ijin ke luar rumah, padahal udah gede!”
“Daripada minta ijin pergi tapi susah, mending kabur diem-diem deh...”
“Ups ketahuan. Yep, now I’m grounded. “

Setiap remaja (putri, pada umunya) pasti pernah melontarkan atau setidaknya memikirkan kalimat-kalimat di atas. Bermasalah dengan kepercayaan orang tua? Tenang, kalian tidak sendirian. Hal ini memang tidak jarang “diderita” oleh sebagian besar anak usia belasan tahun, masa di mana seseorang sedang getol-getolnya mencari kebebasan dan pengalaman yang belum pernah ia dapatkan. Sewaktu kita duduk di bangku SMP atau SMA, seringkali kita masih dianggap anak-anak, bahkan oleh orang tua kita sendiri. Kadangkala untuk ijin pulang malam sampai batas waktu tertentu saja belum tentu dipenuhi, apalagi ijin untuk pergi menginap selama berhari-hari. Memang aturan seperti itu tidak berlaku bagi semua orang. Saya sempat takjub mendengar salah satu teman saya yang pernah bepergian sendiri ke luar negri tanpa masalah ijin orang tua sedikitpun. Bagaiamana tidak jealous? Ya, berbahagialah mereka yang sangat beruntung tidak perlu berhadapan dengan masalah semacam ini. Namun ada pula beberapa dari antara mereka yang seringkali mengalami kesulitan dengan yang namanya memohon kepercayaan orang tua. Tidak sedikit pula yang akhirnya berlanjut kepada pemberontakkan yang berlanjut pada munculnya ketidak-jujuran. Dalam hal ini saya menunjuk diri sendiri sebagai salah satu pelakunya.

Jujur saja, dulu saya sempat memasuki fase “iri” terhadap teman-teman yang tidak terlalu terikat dengan ijin dan peraturan. Bukannya tidak ada aturan sama sekali, tapi lebih tepatnya peraturan yang longgar. Sebut saja teman-teman yang sudah boleh mengendarai mobil sendiri, atau pergi berlibur bersama teman lainnya selama beberapa hari tanpa harus memenuhi syarat ijin yang berbelit-belit. Memang setiap orang tua memiliki kekhawatiran dan cara masing-masing untuk menentukan yang terbaik buat anak-anaknya, tapi kadangkala kita sebagai anak menyalah-artikan hal tersebut sebagai bentuk pengekangan. Jika diingat-ingat lagi, dulu saya juga berpikir seperti itu. Bahkan sejak SMP saya suka “mencurangi” ijin yang saya dapat saking langkanya ijin itu saya peroleh. Eits, bukan untuk hal-hal buruk atau kriminalitas loh! Kecurangan yang saya lakukan misalnya menggunakan ijin satu kali pergi untuk mengunjungi dua tempat sekaligus. Masih terdengar mencurigakan? Hmm, contohnya ijin untuk pergi les, tapi sebelum pulang mampir dulu ke tempat lain. Istilahnya sekali ijin, dua tiga maksud terpenuhi. Sebenarnya hal itu menghasilkan keuntungan dan kerugian. Keuntungannya pasti hasrat jiwa raga terpenuhi tanpa harus melewati proses yang panjang misalnya interogasi pra-bepergian (sama siapa, ke mana, pulang jam berapa, naik apa) yang hasilnya belum tentu positif juga. Namun kerugiannya yaitu minimnya kepercayaan yang kita dapat, bahkan bisa jadi untuk waktu yang lama. Sebenarnya kalau dilihat dari segi kerugian, kelihatannya lebih fatal. Bisa-bisa sampai umur 30 tahun pun kita akan tetap mengulangi fase yang sama. Masa sampai umur 30an kita harus terus-menerus beralasan dan membual untuk bisa dipercaya? 

Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap papa dan mama kita? Give them time. Beri mereka waktu dan kesempatan untuk melihat bahwa kita sudah bisa diberi kepercayaan lebih. “Surat-surat ijin” untuk kepercayaan-kepercayaan yang lebih besar dengan sendirinya akan berdatangan tanpa perlu kita merengek-rengek atau main belakang dengan mama papa kita sendiri. Saya tahu karena saya mengalaminya. Sampai kelas 3 SMA, saya tidak pernah boleh naik busway kalau mau bepergian (entah apa alasannya, mungkin keamanan). Karena termasuk anak yang suka penasaran, bukan berarti larangan itu dituruti begitu saja. Alhasil, pernah beberapa kali saya naik busway diam-diam (umbar kenakalan sendiri). Saya pikir, sampai kapanpun juga saya tidak akan pernah bisa merasakan yang namanya naik Transjakarta jika tidak diusahakan sendiri secara diam-diam. Ternyata hal itu berubah dengan sekejap waktu saya sudah di bangku kuliah. Bahkan ketika disuruh (bukan diijinkan) pulang sendiri naik busway dari kampus, saya sempat kaget “Ada angin apa ini?”. Ya, itu hanya sepenggal cerita pribadi, atau lebih tepatnya rahasia kenakalan pribadi. Bukan kenakalannya yang ingin saya tekankan di sini (hehe, jadi malu.) Intinya, segala sesuatu itu perlu waktu, tidak datang begitu saja secara instan. Keterbukaan itu penting dan jauh lebih baik daripada main belakang. Daripada pura-pura ke kampus padahal ke mall, lebih baik telepon dan bilang “Ma, aku mau ke mall naik busway. Mau nitip body butter Cocoa diskon 50% ga?  Kalaupun tidak langsung dikasih ijin begitu saja, bernego ria-lah sampai tercipta sebuah kesepakatan yang sekiranya bisa menguntungkan kedua belah pihak. Yang paling penting, jangan selalu berpikiran yang negatif terlebih dahulu. Pasti ada maksud dan tujuan dari larangan-larangan orang tua. Jangan sampai kita menganggap diri tidak disayang mereka karena menyalah-artikan maksud baiknya. 

Every Parents love their child no matter what. It’s just the way they’re showing it which different from the others. Come to them, speak, and negotiate. Reach the agreement with peace, trust, and no feud.
@sinjoelf

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Bird Gadget