Segala sesuatu
yang pernah diucapkan merupakan cerminan dari wajah polos di balik topeng
setiap orang. Hal ini juga mencerminkan seperti apakah orang tersebut tumbuh
dan hidup sehari-hari. Kata-kata yang terucap kadangkala bisa menjadi berkat
yang membangun, atau sebaliknya, racun yang membunuh, baik kata-kata yang
ditujukan untuk orang lain maupun untuk diri sendiri. Salah satu tokoh terkemuka dunia, Martin Luther King, merupakan sosok yang
memiliki kharisma dan telah menjadi bagian dari sejarah dunia. Pidatonya yang
terkenal "I Have a Dream"
telah menggugah dan mengubah dunia.
Kekuatan kata-kata ternyata dapat menghasilkan efek luar biasa bagi orang - orang yang
mendengarnya. Namun, apakah selalu demikian?
Saya sendiri pernah mengalami betapa cepatnya keadaan bisa berubah hanya oleh sepenggal kalimat. Ceritanya bermula di sebuah klinik mata (opthalmologist) pada saat saya dan keluarga melakukan check-up mata rutin beberapa bulan yang lalu.(maklum, karena sekeluarga adalah pengguna setia kacamata). Di dalam ruangan terdapat dua dokter, satu yang sudah lebih tua dan senior, dan satunya lagi yang lebih muda yang ternyata juga merupakan putra si dokter senior. Si dokter yang sudah lebih senior memang memiliki raut muka yang agak galak dan tegas, tapi beliau bisa dipastikan memiliki otot-otot wajah yang lebih elastis untuk tersenyum ketimbang putranya. Memang dokter muda yang satu ini terkesan tidak ramah dan galak. Berkali-kali saya check-up, dia sepertinya tidak terlalu peduli dengan yang namanya “beramah-tamah dengan pasien”. Tidak tahukah dia kalau dokter yang ramah itu bisa mengatasi ke-nervous-an pasiennya? Sejujurnya, saya tidak terlalu peduli tentang acara ramah-tamah tersebut karena saya sudah cukup “kenal” dengan watak dokter muda yang satu ini. Selama check-up ini bisa selesai secepatnya, hal itu bukan masalah besar. Setelah pemeriksaan standard dengan alat-alat yang berukuran jumbo, saatnya duduk berhadapan dengan si dokter muda tadi dan mendengarkan hasil laporan pemeriksaannya. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak terlalu banyak berbasa-basi dan langsung membuyarkan apa saja “kesalahan” saya. Setelah mendengarkan dengan seksama dalam keadaan diam dan manggut-manggut saja , saya berpikir untuk mencairkan suasana dengan berperan menjadi pasien yang sedikit lebih aktif dan interaktif, yaitu dengan bertanya, berharap nantinya si dokter bisa lebih ramah dan konsultasi ini pun bisa berlangsung dua arah, tidak seperti mendengarkan berita TV semata. Saya sempat membahas topik yang ingin saya tanyakan saat itu dengan beberapa teman di kampus, dan untuk itu saya masih belum dapat jawabannya. Maka, saya memutuskan mungkin saat itu adalah saat yang tepat untuk mempertanyakannya dengan sang ahli. “Dok, kalau mata minus itu nanti bisa berkurang ga ya?”
Saya sendiri pernah mengalami betapa cepatnya keadaan bisa berubah hanya oleh sepenggal kalimat. Ceritanya bermula di sebuah klinik mata (opthalmologist) pada saat saya dan keluarga melakukan check-up mata rutin beberapa bulan yang lalu.(maklum, karena sekeluarga adalah pengguna setia kacamata). Di dalam ruangan terdapat dua dokter, satu yang sudah lebih tua dan senior, dan satunya lagi yang lebih muda yang ternyata juga merupakan putra si dokter senior. Si dokter yang sudah lebih senior memang memiliki raut muka yang agak galak dan tegas, tapi beliau bisa dipastikan memiliki otot-otot wajah yang lebih elastis untuk tersenyum ketimbang putranya. Memang dokter muda yang satu ini terkesan tidak ramah dan galak. Berkali-kali saya check-up, dia sepertinya tidak terlalu peduli dengan yang namanya “beramah-tamah dengan pasien”. Tidak tahukah dia kalau dokter yang ramah itu bisa mengatasi ke-nervous-an pasiennya? Sejujurnya, saya tidak terlalu peduli tentang acara ramah-tamah tersebut karena saya sudah cukup “kenal” dengan watak dokter muda yang satu ini. Selama check-up ini bisa selesai secepatnya, hal itu bukan masalah besar. Setelah pemeriksaan standard dengan alat-alat yang berukuran jumbo, saatnya duduk berhadapan dengan si dokter muda tadi dan mendengarkan hasil laporan pemeriksaannya. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak terlalu banyak berbasa-basi dan langsung membuyarkan apa saja “kesalahan” saya. Setelah mendengarkan dengan seksama dalam keadaan diam dan manggut-manggut saja , saya berpikir untuk mencairkan suasana dengan berperan menjadi pasien yang sedikit lebih aktif dan interaktif, yaitu dengan bertanya, berharap nantinya si dokter bisa lebih ramah dan konsultasi ini pun bisa berlangsung dua arah, tidak seperti mendengarkan berita TV semata. Saya sempat membahas topik yang ingin saya tanyakan saat itu dengan beberapa teman di kampus, dan untuk itu saya masih belum dapat jawabannya. Maka, saya memutuskan mungkin saat itu adalah saat yang tepat untuk mempertanyakannya dengan sang ahli. “Dok, kalau mata minus itu nanti bisa berkurang ga ya?”
Saya tidak paham apakah nada pertanyaannya yang keliru atau memang
pertanyaanya yang terlalu childish,
karena menurut saya pertanyaan itu benar-benar suatu pertanyaan random yang
tujuannya adalah untuk menjawab rasa penasaran saya sekaligus mencarikan
suasana tadi. Tapi ternyata, kedua niat saya itu tidak ada yang tercapai. Si
dokter pun menjawab, “Mana ada sih mata
minus bisa berkurang sendiri? Pertanyaan kamu tuh ga logis. Gimana sih katanya
anak kedokteran.” Bahkan mama saya
yang mendengar hal itu ikut terdiam, apalagi saya yang langsung membisu, bukan
karena malu, tapi karena seketika otak saya dipenuhi dengan makian dan kalimat
pembelaan diri yang tidak kunjung dikirim dari otak ke saraf otot-otot bibir. Pertama Dok, saya sempat membaca kalau
seiring bertambahnya umur, ada kemungkinan minus seseorang bisa berkurang.
Kedua, pertanyaan itu datang murni dari rasa penasaran. Kalau Anda tidak
berkenan menjawab, katakan baik-baik karena perkataan Anda tadi membuat saya
lebih percaya pada Google yang tidak akan pernah merendahkan pertanyaan apapun
yang dipertanyakan padanya. Ketiga, ya, saya anak kedokteran, bukan dokter.
Itulah gunanya saya bertanya. Fiuh~.Memang itu hanya uneg-uneg yang saya
pendam sampai saya menuliskannya di sini. Lagipula tidak ada gunanya berdebat
dengan dokter muda sok tahu, yang jelas-jelas perlu mengulang mata pelajaran “komunikasi
dokter-pasien”.
Itulah sebabnya “mulutmu harimaumu”. Apa yang secara sadar maupun tidak
sadar keluar dari mulut kita bisa dengan mudah merusak segalanya hanya dalam
hitungan detik. Kata-kata bisa menjadi obat yang paling mujarab, tapi bisa juga
menjadi bom waktu yang mudah meledak jika tidak cepat-cepat dijinakkan. Sejujurnya,
saya tidak terlalu ambil pusing dengan perilaku si dokter muda tadi. Meskipun
hal itu tidak membuat saya memutuskan akan pindah dokter langganan (bukan
karena saya nggak mau, tapi nggak boleh), tapi setidaknya saya jadi tahu bahwa di
samping ketidak-berdayaan pasien mencari dokter untuk pertolongan, mereka juga
bermata jeli untuk memberi penilaian akan setiap aspek. Pengalaman ini berguna
buat saya jika sudah memasuki dunia pratik dan berhadapan langsung dengan mereka
nantinya. Cerita saya barusan mungkin bisa dibilang belum merupakan suatu
masalah yang besar, hanya masalah kecil antara dokter dan pasien. Ya, memang
itu adalah suatu bukti di mana hal sekecil itupun ternyata memiliki dampak, apalagi
dengan orang-orang yang ternyata merupakan kenalan baik kita atau orang-orang
terdekat kita. Ceritanya pun akan berbeda. Kandangilah harimaumu sebelum ia
menakuti orang-orang yang kau sayangi, dan melahap segala sesuatu yang kau
miliki.
@sinjoelf
No comments:
Post a Comment